mantagibaru.com—“Sumbang Duo Baleh” hukum sosial dan adat Minangkabau yang tidak tertulis ini masif dilabrak sesuka hati, terutama dilakukan oleh sanggar-sanggar seni, pengusaha dan pengelola event organizer (EO) baralek pesta pernikahan dan perhelatan di Sumatra Barat.
![]() |
Foto Internet |
Dalam sistem sosial-budaya masyarakat Minangkabau yang disematkan bagi kaum perempuan berupa aturan atau norma disebut “Sumbang Duo Baleh”. Banyak kalangan budayawan, seniman, dan pengamat budaya mencemaskan kondisi ini. Mereka khawatir, tergerusnya nilai-nilai dan norma-norma yang dikandung “Sumbang Dua Baleh” juga akan berdampak pada adat dan budaya Minangkabau secara umum.
Menurut
Indrayuda, S.Pd, M.Pd, Ph.D, pengajar di Jurusan Pendidikan Sendratasik,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang, dalam bincang-bincang
dengan sumbarsatu, Jumat (8/1/2021), “Sumbang Duo Baleh” diperuntukkan bagi
kaum perempuan guna mengontrol adab dan tata krama sosial, etika yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Norma
“Sumbang Duo Baleh” secara hukum tidak tertulis tapi dipercayai dan diyakini
oleh masyarakat Minangkabau sejak dulu hingga kini sebagai produk nilai dan
etika yang secara konvensi mengatur ruang gerak dan ekspresi kaum perempuan
Minangkabau di ruang-ruang publik, dalam interaksi dan integrasi sosialnya,”
kata Indrayuda.
Dikatakannya,
pada dasarnya “Sumbang Duo Baleh” hakikatnya diciptakan bertujuan melindungi
harkat dan martabat kaum perempuan dari celaan, gangguan nakal, perundungan
kaum laki-laki.
“Asas
kepatutan dari kaum perempuan, nilai negatif dari sudut pandang aktivitas serta
tindak tanduk. Dengan demikian atas dasar konvensi masyarakat Minangkabau
tercipta norma “Sumbang Duo Baleh” sebagai produk sosial dari adat istiadat
Minangkabau secara tidak tertulis,” kata seniman tari ini.
Dikatakannya,
“Sumbang Duo Baleh”, secara prinsip dan aturan yang berlaku dalam adat
Minangkabau tabu dilanggar dalam pergaulan sosial oleh kaum perempuan. Apabila
ada kaum perempuan melanggar salah satu atau dua dari norma yang dianggap tidak
boleh dilakukan itu, maka mereka dinilai telah sumbang (salah).
Jika
salah dalam melakukan duduk, bagaua (bergaul), dan berpakaian, berarti mereka
telah melanggar norma dan begitu seterusnya. Oleh sebab itu, harkat dan
martabat kaum perempuan ditinggikan dengan adanya aturan atau norma “Sumbang
Duo Baleh” tersebut,” urai koreografer nasional dan internasional ini.
Merajut
antara norma “Sumbang Duo Baleh” dengan kehadiran perempuan sebagai pelaku seni
khususnya tari dewasa ini di Minangkabau, terdapat beberapa persoalan yang
patut dibicarakan secara bersama, termasuk juga tentu cara EO baralek
menyelenggarakan sebuah prosesi pernikahan dan pestanya di Sumatra Barat.
Menurut
Indrayuda, dunia seni awalnya bagi perempuan Minangkabau adalah sesuatu yang
tidak diperbolehkan. Akan tetapi munculnya seni tontonan seperti drama dan seni
bangsawan pada era kemerdekaan di Sumatra Barat. Salah satu contoh, terjadi
suatu gejolak dari diri seorang perempuan bernama Hoerijah Adam. Tampilah ia ke
panggung seni pertunjukan. Pada akhirnya menjadi seorang koreografer yang
mendunia dan melegenda sampai saat ini. Banyak yang menilai, apa yang dilakukan
dalam penampilan panggung tari Hoerijah Adam,
telah melanggar Sumbang Dua Baleh.
“Sejauh
informasi yang saya peroleh dari guru saya Sofiani Bustamam, Zuriati Zoebir dan
Gusmiati Suid maupun Yusaf Rahman, maka para guru yang terhormat itu mengatakan
bahwa apa yang dilakukan Hoerijah adalah sebuah aktivitas kesenian dan bukan
aktivitas sosial yang dilakukan dalam interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari. “Sumbang Duo Baleh”
diperuntukan dalam interaksi atau integrasi sosial bukan untuk karya seni,”
tambah lulusan Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan di Universiti Sains Malaysia
(USM) ini.
Selain
itu, jelasnya, gerakan yang dikemas oleh Hoerijah Adam dan juga Sofiani tidak
melanggar asas kepatutan seorang perempuan Minangkabau. Maksudnya adalah bahwa
tidak ada satu gerak pun yang disusun yang mampu menggoda syahwat laki-laki.
Gerakan tersebut disusun berangkat dari vocabulary gerak pencak atau mancak.
Sedangkan ekspresinya juga tidak genit atau mantiak.
“Artinya
ekspresinya tidak liar atau binal. Sehingga kehadiran perempuan tidak mampu
menggoyahkan syahwat laki-laki, dan tidak ada ruang bagi laki-laki untuk
menikmati perempuan sebagai perempuan, tetapi menikmati teknik dan susunan
gerak yang harmoni dan artistik serta estetis dari sebuah suguhan tarian,” ujar
pemilik kelompok Tantra Dance Theater ini.
Kendati
begitu, dijelaskan lebih jauh, memasuki masa kini, timbul suatu revolusi
terhadap gaya tari Minangkabau (kreasi) dan berdampak pula pada persoalan “Sumbang
Duo Baleh”. Munculnya berbagai sanggar-sanggar seni dan EO pesta baralek
(perhelatan) dengan pemahaman tren modernisasi dalam persaingan yang demikian
ketat antarsanggar dan EO, apa yang berlaku pada “Sumbang Duo Baleh”, bukan
lagi jadi acuan penting.
“Tarian
yang dibawakan sanggar-sanggar seni dan kemasan perhelatan dengan konsep adat
budaya Minangkabau yang dilaksanakan sebuah EO, jika dibawakan ke dalam
interaksi sosial dengan norma “Sumbang Duo Baleh”, maka apa yang dihadirkan
atau ditampilkan penampil perempuan Minangkabau baik di pentas maupun proses
perhelatan, saya melihat rada-rada dapat dikatakan masuk dalam ranah sumbang
atau salah karena banyak yang melabrak norma “Sumbang Duo Baleh”,” ujar
Indrayuda, salah seorang anggota World Dance Alliance Asia Pacific.
Realitas
hari ini, tambahnya, sebagian sanggar seni dan EO atas pesanan dari konsumen
atau pemesan, biasanya pengguna jasa meminta penampil harus tinggi, cantik,
kostum yang gemerlap.
“Akibat
desakan dan permintaan ini, maka pengelola sanggar dan EO menampilkan karyanya
dengan penuh sensasi dari seorang perempuan sehingga kehilangan norma sosial
dan adat Minangkabau, termasuk pantangan yang ada dalam “Sumbang Duo Baleh”.
Tak aneh lagi, kita menyaksikan gerakan tari cenderung mantiak, mata yang yang
liar, senyuman sudah mulai merekah, liukan dan gerak sudah mulai menggoda,
pakaian yang tidak lagi sesuai tempatnya, dan lain sebagainya,” jelas
Indrayuda.
Menurutnya,
kesemuanya ini apabila dikorelasikan dengan “Sumbang Duo Baleh”, justru inilah
mungkin yang dianggap sumbang dalam tari Minangkabau masa kini, yang diproduksi
oleh sebagian sanggar seni pertunjukan dan EO pesta perhelatan di Sumatera
Barat.
Aplikasi
sumbang bagaua (bergaul), kurenah dan bapakaian yang tampak dalam
penampilan-penampilan di panggung yang dilakukan sanggar-sanggar tari yang
memproduksi karya tari kreasi yang mengatasnamakan representasi Minangkabau,
cukup masif saat sekarang. Prosesi perhelatan dengan segenap tahapan-tahapan
ritualnya, yang dilaksanakan EO, juga banyak keluar dari norma, nilai-nilai,
dan etika yang berlaku dalam “Sumbang Duo Baleh”.
“Klaim
mereka bahwa karya dan proses perhelatan itu adalah representasi adat dan
budaya Minangkabau, jelas ini tidak dapat dibenarkan. Karena simbol bagaua
dalam karya tersebut telah sumbang. Mana ada laki-laki dan perempuan berpelukan
yang bukan muhrim dibolehkan dalam “Sumbang Duo Baleh”?” katanya. nasrul azwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar